Rabu, Februari 25, 2009

tahun ketiga

It’s funny how from simple thing

The best thing begins

Hari ini, 3 tahun yang lalu, untuk pertama kalinya kita saling mengenal. Bukan pertemuan pertama karena setahun sebelumnya, walau aku tak menyadarinya, kita pernah bertemu tanpa sengaja, tanpa kata. Sejujurnya, pertemuan selanjutnya juga tak berasa istimewa. Kau datang, menyapa, bercanda, mengumbar kata dan janji. Aku, dengan kejenuhan dan kelelahan dengan semua drama yang telah berlalu, tidak (berani) menanggapi atau menumbuhkan harapan di atasnya. Dan kau, hanya luka yang tersisa dalam hati yang dikhianati. Kita berdua memulainya dengan penuh keraguan, ketakutan, ketidakpastian. Betapa torehan yang membekas di hati kita hampir saja menciptakan dua manusia yang bodoh dan apatis. Kau dan aku.

Butuh seminggu untukmu memberanikan diri melangkah maju. Dan sejak saat aku melihatmu melangkah masuk melewati pintu hari itu dengan senyuman mengembang di wajahmu, aku mulai berharap. Tanpa sensasi ‘kupu-kupu menari-nari di dalam perutku’, hanya rasa hangat…teramat hangat…seakan matahari bersinar khusus untukku. Hari demi hari berlalu, semakin kita saling mengenal, menyelami, memahami dan menerima satu sama lain maka semakin menguatlah keyakinan dan kepercayaan di antara kita. We’re bound to each other. Seakan tak terpisahkan, sampai-sampai seperti ‘stiker’, ‘gambar tempel. Mungkin karena semangat yang meluap-luap :D Aku tahu, saat itu kita pasti kelihatan konyol dan kekanak-kanakan sekali tapi aku tak terlalu memusingkannya. It’s my life, anyway. Seiring waktu, toh kita pun banyak belajar, tidak hanya tentang diri kita dan hidup kita masing-masing tapi juga tentang satu sama lain. Tumbuh, berkembang, bersama. Kau dan aku.

3 tahun berlalu, banyak konflik, ketidaksepahaman, perdebatan, diselingi hembusan keraguan dan kejenuhan tapi di sana juga banyak tawa dan kebahagiaan. Aku tidak bermaksud menaburkan impian berbunga-bunga di hadapan kita, berjanji manis ‘hanya kau satu-satunya’ atau’ cinta kita akan abadi selamanya’. Aku bahkan bukan jenis orang yang bisa mengumbar kata atau ekspresi cinta (hal yang sering kau keluhkan). Tapi tataplah mataku, dengarkanlah dengan seksama detak jantungku, resapilah setiap hembusan nafasku, hayatilah lakuku maka akan kau temukan keyakinan, kepercayaan, kesungguhan padamu, pada hubungan kita. Aku bersyukur untuk kesempatan yang diberikan Tuhan pada kita untuk saling mengenal, memberi, menerima, mendukung, melengkapi, baik kemarin, hari ini, esok dan semoga untuk seterusnya. Kau dan aku.

across the universe: indonesia (2)

Aslinya mana?”

Pertanyaan biasa tapi butuh bertahun-tahun bagiku untuk menemukan jawaban yang tepat. Menurut hukum ius soli ataupun ius sanguinis, sebenarnya jawabannya singkat saja. Suku bangsa: Jawa, secara mutlak dan meyakinkan tanpa keraguan sedikit pun. Aku lahir di Yogyakarta dari seorang bapak yang berasal Jawa Timur dan ibu yang berasal dari Yogyakarta. Namun bagiku tidak sesederhana itu. Perlu menguraikan perjalanan selama bertahun-tahun untuk sampai pada jawaban yang sebenarnya.

Bapak dan ibu merupakan perantau di Medan, Sumatera Utara sebelum mereka berkenalan dan kemudian memutuskan menikah. Kemudian Bapak menjalani pendidikan di Bandung sementara Ibu (dan aku yang masih di dalam kandungan) dititipkan di rumah mbah di Yogya. Lahirlah aku. Saat bapak sudah menyelesaikan pendidikan, kami kembali ke Medan. Tidak ada yang kurekam dari masa ini. Berlalu tanpa kesan atau ingatan. Sewaktu berusia 2 tahun, bapak pindah tugas ke Palembang, Sumatera Utara. Di kota inilah aku menjalani masa kecilku, TK, SD dan setahun pelajaran di SMP. Budaya, kebiasaan, makanan ataupun lingkungan melekat erat dalam hati dan ingatan. Sebelas tahun ternyata sudah mampu menumbuhkan dan menguatkan keterikatanku pada kota ini, membentuk pribadiku. Mungkin karena itu pula aku tergila-gila dengan makanan pedas dan tidak suka dengan yang manis (kalau laki-laki manis mau lah). Betapa aku merindukan masa-masa itu. Rumah kayu panggung di tepian sungai Musi, pertandingan bidar, meriahnya suasana lebaran (sampai lebaran haji juga dirayakan seperti idul fitri), belajar tari tanggai, terutama sih makanan, pempek, tekwan, model, kemplang, kumbu, buah-buahan dan ikan. Memang mudah menemukan semua makanan itu di daerah lain tapi kalau bicara harga dan keaslian rasanya tetap tak setara.

Kemudian bapak pindah tugas ke Jakarta. Berat rasanya meninggalkan semua orang, kebiasaan dan kehidupan di Palembang. Karena masih belum mendapatkan tempat tinggal di Jakarta, akhirnya ibu, aku dan adikku dititipkan (lagi) di rumah mbah Yogya sementara adik laki-lakiku dititipkan di rumah mbah Pacitan (katanya sih untuk mencegah kecemburuan di antara mbah he3). Aku meneruskan pendidikan di sebuah SMP di pinggiran Yogya (agak susah mencari SMP di dalam kota yang mau menerima siswa pindahan). Setelah setahun di Yogya, ibu dan adik paling kecil pindah ke Jakarta mengikuti bapak. Awalnya susah juga, menyesuaikan diri dengan lingkungan, kebiasaan, orang-orang baru, dan ditinggal sendirian. Tapi lama-lama biasa juga. Aku pun menikmati kehidupan di Yogya. Di sini juga pertama kali kenal mi ayam yang akhirnya jadi makanan favoritku sepanjang masa he3. Kendala utama jelas bahasa. Meskipun bapak-ibu Jawa tulen tapi seumur-umur tidak pernah diajari bahasa Jawa kecuali kata ‘dalem’, jawaban yang harus aku beri saat dipanggil bapak atau ibu tanpa tahu artinya sama sekali. Untungnya di sekolah ada kebijakan untuk memberi toleransi padaku di pelajaran bahasa Jawa. Jadi meski sejelek apapun hasil evaluasi pelajaran, aku tetep memegang nilai aman di rapor :p Sampai sekarang bahasa Jawaku masih saja payah. Menangkap dan memahami dialog bahasa Jawa mungkin bisa walau tidak seratus persen. Bicara? Bahasa ngoko lumayan, bahasa karma tertatih-tatih (bisa dibilang nyaris tersandung). Belum lagi logat Jawaku yang aneh (menurut banyak orang) dan ketidakmampuan membedakan pelafalan huruf ‘t’ dan ‘th’ atau ‘d’ dan ‘dh’. Lucunya aku dapat nilai 9 di pelajaran bahasa Jawa sewaktu lulus SMP. Setelah susah payah menyesuaikan diri di Yogya, bapak memberi ultimatum, aku harus meneruskan SMA di Jakarta padahal sudah semangat ’45 bercita-cita masuk SMA di Yogya. Sampai sekarang kalau lewat di depan SMA itu rasanya masih miris, terbayang-bayang seandainya aku bisa sekolah di sana (lebih mirip imajinasi berbunga-bunga, belum tentu diterima, soalnya itu salah satu SMA favorit hi3).

Di Jakarta, aku cukup beruntung bisa dapat sekolah yang dekat dari rumah, sekitar 5-10 menit berjalan kaki. Beruntung sekali tidak perlu mengalami masa-masa mengejar bis atau terjebak kemacetan (tapi tetap kebanjiran). Sayangnya, kekecewaan karena dipaksa pindah masih sedikit membekas. Aku tidak terlalu menikmati masa-masa tinggal di Jakarta. Banyak hal-hal dan orang-orang yang menyenangkan tapi seringkali merasa sumpek dan sulit beradaptasi. Seperti orang asing. Rasanya seperti bukan duniaku. Sampai sekarang juga tetap merasa seperti itu. Tahun lalu saat aku (terpaksa) pergi ke Jakarta untuk suatu keperluan, belum-belum sudah tertekan, membayangkan kepadatan, kemacetan, polusi, banjir dan kriminalitas (kalau yang terakhir ini imbas keseringan nonton berita kriminal di TV he3). Tapi aku jelas merindukan rumah Jakarta, sekolah, tetangga, teman-teman, semua kenangan dan yang jelas mi ayam pangsit di ujung gang rumahku, tidak lupa juga sate dan batagor di depan SD adikku :D

Menuntaskan keinginan untuk sekolah di Yogya, aku memutuskan untuk kuliah di Yogya. Kali ini orangtua membolehkan karena memang sudah ada rencana kalau bapak akan pindah tugas ke Solo. Sempat mengalami 2 tahun mondar-mandir Yogya-Jakarta sebelum akhirnya benar-benar pindah ke Solo. Lingkungan baru, orang-orang baru, kebiasaan baru. Tapi kali ini sudah tidak ada rasa takut. Aku memilih menikmatinya. Terkadang memang masih merasa seperti ‘orang hilang’ karena kaburnya identitasku. Namun hal yang bisa kupastikan adalah jangan pernah meragukan kelekatanku pada Palembang sebagai tempatku tumbuh dan menghirup nilai-nilai awal kehidupan, kecintaanku pada Yogya sejak pertama kali menginjakkan kaki di sana, penghargaanku pada Jakarta yang membentukku sedemikian rupa serta kedamaian yang kurasakan di Solo karena di sanalah hal paling berharga dalam hidupku berada, yaitu keluarga. Semua meninggalkan jejak dalam diri dan hidupku, semua adalah rumahku. Bagaimanapun aku sangat beruntung mengingat tidak semua orang punya kesempatan seperti aku kan?

Jika saat ini kau bertanya, Aslinya mana?”. Dengan bangga aku akan berkata, “Aku orang Indonesia”. (Bukan karena sok heroik atau nasionalis tapi repot kan kalau harus mengulang seluruh ceritaku tadi). *LOL*

kesabaran

apakah kesabaran itu

angin yang sayu bertiup ringan

menggetarkan pucuk daun-daun

tersenyum pilu di atas deru

lonjakan api menjilat kayu

berakhir nanti di antara kerikil berwujud abu?

apakah ia seperti peri

bayangan putih mengelus diri

bergerak mundur setiap tapak

mengkhianati tekad lurus tajam

dan akhirnya begitu saja melenyapkan diri?


“Kesabaran” dalam Sajak-sajak 33

Toety Heraty