Senin, Januari 12, 2009

today's quote

explore. dream. discover.
(mark twain)

ketika kura-kura itu terbang...

bagaimana melabelkan kata indah pada sesuatu yang begitu menyakitkan dan menyedihkan?

terlepas pro kontra kritik mengenai apakah film ini mendukung invasi amerika ke irak atau justru benar-benar menggambarkan sentimen yang sesungguhnya dirasakan warga irak berkaitan dengan kekuasaan saddam husein, jalinan kisah dalam film ini benar-benar indah dah menyentuh hati. toh, siapapun atau apapun yang jadi pemicu, pemrakarsa atau penyebabnya, perang tetaplah menjadi kisah tragis, menyakitkan dan duka bagi korban-korbannya.

berlatar belakang di kampung pengungsian suku kurdi menjelang invasi amerika ke irak, film ini menceritakan bagaimana rupa kehidupan orang-orang di pengungsian yang diliputi keresahan dan ketegangan mengenai kejelasan nasib mereka, penuh tangis dan tawa. berpusat pada satellite (soran ibrahim), seorang bocah (menjelang dewasa) yang memperoleh panggilannya berdasar keahliannya mengutak-atik posisi antena televisi agar bisa menangkap saluran asing untuk memantau perkembangan berita perang bagi penghuni pengungsian. dengan gayanya yang tengil dan sok (segalanya), satellite layaknya matahari pusat galaksi bagi bocah-bocah serta penghuni pengungsian lainnya. bagaimana sikap bossy dan sok berkuasanya saat mengatur bocah-bocah lain dalam pengumpulan selongsong senjata dan ranjau (yang kapan saja bisa meledak) sebagai sumber penghidupan mereka atau saat melakukan tawar menawar harga ranjau dengan seorang 'mister' (seorang pialang ranjau yang sebenarnya orang kurdi juga), begitu pula gaya semaunya dalam menghadapi tetua kampung saat menterjemahkan berita (menjelang) perang di televisi sebagai sandi rahasia dibalik ramalan cuaca.
ah, masih tak lepas rasa geliku mengingat polah pashow dan shirkooh, kedua ajudan satellite serta ekspresi jengah-tapi-mau salah satu tetua saat di bawah kendali satllite, siaran televisi terhenti di saluran yang 'haram'. kepolosan, kekonyolan dan kelucuan meniriskan kelamnya hari-hari mereka.

cinta adalah saat bertemu agrin, seorang gadis pengungsi berwajah penuh luka dan duka beserta balita buta misterius yang diasuhnya (riga) dan kakak lelaki yang buntung lengannya akibat ranjau (hengov). devosi dan afeksi yang diberikan satellite ditanggapi dengan dingin oleh sang gadis. upaya bunuh diri atau sikap bertolak belakang
agrin yang ditunjukkan pada sang balita asuhannya, terkadang sayang, terkadang 'kejam' tak diriwayatkan dengan jelas sampai menjelang penutup cerita. akhirnya terjawab derita apa yang ditanggung si gadis yang ia cinta. dan satellite pun paham, satu hal yang pasti dalam perang bukanlah kemenangan atau kejayaan bagi satu pihak melainkan luka dan airmata bagi banyak jiwa.

Senin, Januari 05, 2009

Invites Me, Invites Me Not

Apa reaksi Anda saat menerima sebuah undangan pernikahan? Ungkapan rasa turut berbahagia tentulah reaksi yang sewajarnya atau paling tidak, secara normatif, seharusnya. Mungkin juga bersedih bila undangan tersebut dari orang di masa lalu yang begitu melekat di hati sehingga sakit untuk melepaskannya. Bisa jadi tersentil karena undangan itu mengingatkan pada status lajang Anda (seperti juga saya) yang seakan tanpa akhir. Atau mungkin saja melotot. Entah karena memang bawaan lahir. Entah karena kebetulan tersedak biji salak yang lupa dimuntahkan keluar. Entah karena keterkejutan atau ketidakpercayaan (bisa pada pelaku pernikahan atau pernikahan itu sendiri).

Sayangnya reaksi yang paling sering saya temui di lingkungan sekitar, undangan yang semestinya merupakan suatu kabar bahagia justru ditanggapi dengan rasa khawatir dan tertekan oleh sang penerima. Mulai dari menyesali kedatangan lembar undangan, meratapi nasib, sedikit rutukan dan keluhan sampai pada fase pandangan mata kosong dan jiwa tertekan memikirkan bagaimana cara memperolehi uang ekstra dalam upaya memenuhi ekspektasi (lebih sering mengarah menjadi suatu tuntutan) sosial berupa pemberian bingkisan atau uang. Suatu tindakan berdasarkan ketulusan dan rasa kebersamaan sosial berkembang menjadi kebiasaan yang mengikat dan berakhir menjadi kewajiban.

Anda tentunya sudah cukup terbiasa dengan catatan tambahan yang lumrah menyertai lembar undangan berupa pemberitahuan ‘Tanpa mengurangi rasa hormat, tidak menerima bingkisan dan rangkaian bunga’ atau kalimat sejenis itu. Pengalaman pribadi mengajarkan betapa bingkisan atau karangan bunga memang cenderung lebih merepotkan daripada pemberian uang, baik bagi pemberi maupun penerima. Namun sulit menutupi keterkejutan saya ketika suatu hari membaca sebuah undangan (untungnya hanya membaca karena bukan ditujukan pada saya) yang di dalamnya tertera pesan pemberitahuan dalam rupa 3 buah gambar. 2 diantaranya berupa gambar kado dan bunga dalam lingkaran yang masing-masing diberi tanda silang dan gambar berikutnya berupa amplop dalam lingkaran. Sudah bisa menebak artinya tanpa perlu kehadiran ahli sandi kan? Sebenarnya maksud yang hendak disampaikan tidak jauh berbeda dari versi pesan tulisan, hanya saja dalam wujud yang lebih praktis, yaitu simbol. Sayangnya justru berkesan kasar buat saya yang cenderung sensitif apabila berurusan dengan kata atau tanda karena lebih terbaca sebagai suatu perintah “Beri saya uang! Pemberian dalam bentuk lain dilarang!”

Tolong jangan artikan sikap dan penilaian saya sebagai manifestasi pribadi yang dingin, kikir, penuh perhitungan ataupun keengganan untuk berbagi dengan sesama. Sungguh suatu hal yang membahagiakan bila bisa memberi, membantu , berperan atau melakukan sesuatu untuk orang lain. Sehingga menjadi suatu kekecewaan ketika sistem yang berkembang dalam masyarakat saat ini justru mengabaikan substansi perayaan pernikahan, yaitu mengumumkan pernikahan serta berbagi kebahagiaan dan mengaburkan makna solidaritas atau kebersamaaan sosial sebenarnya, yaitu memberi tanpa pamrih. Saat luapan afeksi dan ketulusan yang terkandung dalam suatu pemberian hanya dipandang berdasar wujud atau kauntitas fisiknya untuk kemudian dibukukan, diinventarisasi atau bahkan mudah-mudahan tidak dinilai atau dijadikan tolak ukur pemberian (balasan). Begitu pula saat suatu pemberian dilekati harapan memperoleh balasan yang sepadan.

Saya percaya masih banyak pribadi-pribadi mulia yang tidak terjebak gan dalam pola hipokrit seperti itu. Tapi sulit disangkal bahwa realita yang berkembang dalam masyarakat adalah tindakan manasuka tersebut menjadi suatu keharusan yang disertai sanksi sosial. Di daerah tertentu dapat ditemui fakta bahwa pemberian (atau lumrah disebut sumbangan) di acara pesta semacam ini dicatat dengan detil mulai nama pemberi, aitem dan jumlahnya sehingga saat sang pemberi tersebut suatu saat mengadakan hajat maka si penerima harus memberikan sesuai apa yang dulu telah diterimanya dari orang yang bersangkutan. Ironisnya lagi, sepertinya sudah terbentuk aturan baku tak tertulis dalam masyarakat bahwa besarnya pemberian mesti berkorelasi positif dengan strata status, kedudukan atau kemampuan (baca: kaya) sang penyelenggara pesta. Artinya, semakin tinggi kedudukan atau kekayaan maka semakin tinggi pula besaran pemberian. Atau ketika pemberian untuk pesta pernikahan (yang diselenggarakan atas dasar pilihan sadar melalui pemikiran matang sebagai ekspresi kebahagiaan) seringkali lebih diprioritaskan, baik kuantitas maupun urgensinya daripada pemberian untuk orang yang benar-benar membutuhkan (entah bencana, sakit atau meninggal) yang secara logika merupakan peristiwa tidak direncana, tidak diharapkan dan jelas lebih membutuhkan bantuan. Seorang kenalan malah pernah dengan terang-terang berkata (yang sebenarnya dimaksudkan untuk menasihati saya yang masih belum menikah juga), “Jangan khawatir tentang biaya nikah, nanti balik modal dari sumbangannya kok”. Kenyataan yang benar-benar menyedihkan melihat perayaan pernikahan dipandang dan diperlakukan tidak lebih seperti bisnis warung makan selama beberapa jam.

Jangan takut untuk mengundang saya atau menerima undangan saya. Tenang, saya bukan manusia berhati batu. Ini bukan upaya pemboikotan tindakan berbagi, memberi atau menerima dengan orang lain. Bukankah hal tersebut instrumen interaksi yang indah dalam kehidupan manusia? Saya hanya berharap ini bisa jadi bahan renungan yang akan membuka hati dan meluweskan kerangka pemikiran kita untuk bisa bersikap lebih bijak.

Jika di masa yang akan datang Anda berkenan untuk mengundang saya, mohon untuk memaklumi bahwa apapun yang saya berikan untuk Anda adalah buah afeksi, kesungguhan dan perhatian dari lubuk hati yang paling dalam, tanpa mengharap apa-apa (Kalaupun Anda tidak mengundang saya, tidak akan saya jadikan prasangka atau radang dalam hati. Doa dan harapan yang tulus untuk kebahagiaan Anda).

Dan, jika di masa yang akan datang Anda berkenan memenuhi undangan saya, mohon untuk tidak menjadikan hal tersebut sebagai beban karena, dengan segala hormat dan kerendahan hati, yang saya harapkan hanyalah sekedar kesediaan Anda untuk hadir dan berbagi momen penting dalam hidup saya, tanpa mengharap apa-apa.

Scarlett O’Hara, Ksatria dan Putri dalam Menara

Kecintaan pada kisah Gone with The Wind bermula dari filmnya yang hanya sekali saya tonton saat di SMA dan terus berlanjut sampai sekarang ketika akhirnya membaca novelnya, entah apa yang menahan saya, lebih dari 10 tahun kemudian. Bagi saya, berbicara tentang karya tersebut bukan hanya mengenai semburat emosi akan suatu keindahan, kenikmatan maupun kesenangan atas suatu karya tetapi lebih kepada jejak yang tertanam dalam dan memberikan sumbangan relatif dalam cara pandang dan pemikiran saya. Filmnya sendiri sebenarnya tidak terlalu termemori dengan baik, apakah kedua pemeran utamanya - Clark Gable dan Vivienne Leigh – memikat, apakah tata kostum maupun lokasinya memukau atau apakah alur cerita juga skenarionya menghanyutkan. Namun, dangkal rasanya apabila menihilkan keberadaan film yang sudah memperkenalkan saya untuk pertama kalinya pada sosok yang mengikat hati dan pikiran saya, Scarlett O’Hara.

Entah bagaimana cara untuk mendeskripsikan keberadaan maupun perannya dalam hidup saya. Dia mungkin pujaan, idola atau sejenisnya meskipun saya bukan jenis orang yang gemar memuja, mengagungkan maupun mengidolakan sesuatu secara berlebihan. Saya lebih memilih cara yang sederhana dan bersahaja untuk mengekspresikannya, bukan dengan tindakan ekstrim apalagi menjadikannya sebagai kebenaran mutlak. Scarlett hanyalah representasi dari wanita yang jauh dari sempurna dan masih banyak figur wanita yang lebih bercitra mulia dibanding dia. Akan tetapi rasa keterkaitan atau keterikatan yang dalam justru terjalin dari sosok manusiawi tersebut. Pada pribadinya saya berkaca, membangun dan memperbaiki diri saya. Seorang wanita yang percaya pada dirinya sendiri, berani, mandiri, penuh semangat dan optimisme, tahu apa yang dia inginkan dan memperjuangkannya tanpa kenal kata menyerah.
Untuk menempatkannya sebagai panutan seutuhnya sepertinya juga berlebihan karena di sisi lain, Scarlett adalah pribadi impulsif, temperamental, oportunis dan sanggup menghalalkan segala cara untuk meraih apa yang dia inginkan. Obsesinya pada uang, Tara dan Ashley sering mendorongnya melakukan tindakan yang tak sepantasnya. Betapa keangkuhan dan ketidakpeduliannya harus dibayar mahal, kehilangan hal yang benar-benar berharga dalam hidup, putri bungsunya dan cinta tulus suaminya. Dia justru menyia-nyiakan kebahagiaan yang sebenarnya sudah ada dalam genggamannya dengan terus mengejar keterpenuhan secara materi. Namun tidakkah dari sisi negatif atau pengalaman buruk kita semestinya juga bisa menarik pelajaran dan hikmah? Bukan sekedar mencela ataupun menggunjingkannya. Dia tetap sosok yang mengagumkan, memikat sekaligus meledakkan emosi dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Perbedaan dirinya dari idealisasi gambaran ‘putri cantik, baik hati dan lemah lembut yang menanti ksatria untuk menyelamatkan hidupnya’ menyadarkan saya, entah dari kepasrahan atau ketidakpedulian menahun, atas sesuatu yang selama ini terberi dan terinternalisasi sehingga diterima menjadi suatu kebenaran (dan jikalau belahan jiwa saya adalah seorang ksatria dan saya seorang putri, saya tentu saja bukanlah putri yang akan menghabiskan hidup untuk tidur panjang, memanjangkan rambut atau menjalin kain di menara kastil sambil menantikan kedatangan sang penyelamat). Dia menangis, merasa takut, berkeluh kesah dan rapuh di saat menghadapi kesulitan namun dia mampu bangkit dari duka dan keterpurukan menjelma menjadi sosok pemberani dan kuat dalam memperjuangkan hidupnya bukan dengan terus-menerus meratapi nasib, mengharapkan belas kasihan atau mengandalkan pertolongan dari orang (tidak juga dengan kepasrahan absurd ala sinetron). Dan sebagaimana dirinyalah saya berharap semua wanita menjalani hidup, penuh kesadaran, keberanian, penghargaan dan keyakinan pada diri sendiri sehingga tak ada satu menarapun yang akan memenjarakan kita. Hentikan khayalanmu! Lepaskan diri dari penantian akan datangnya ksatria berkuda putih penyelamat hidup sebagaimana dongeng klasik pengantar tidur. Jangan hanya mengharapkan bintang jatuh di pangkuanmu. Karena pilihan dan kesempatan ada di tanganmu. Raih dan perjuangkan impianmu serta hidupmu.

tahun baru

sebenernya ga gitu demen perayaan gini2an. biasanya juga memilih tidur kecuali ada sesuatu yang bisa bikin terjaga. malam tahun baru kemaren ada kencan ama baget dan ibu angsa, girls talk. walaupun karena badan tua, belom jam 12 dah tepar semua :p badan tua ya gini. ngucapin selamat tahun baru jg males. bukan karena anti sosial tp bukanya yg perlu diselametin tuh orangnya, bukan tahunnya :p kalo boleh sih...

beribu rasa syukur diucapkan
beribu harapan diterbangkan
beribu doa dipanjatkan
semoga yang telah berlalu jadi pelajaran

selamat datang tahun 2009!