Senin, Januari 05, 2009

Invites Me, Invites Me Not

Apa reaksi Anda saat menerima sebuah undangan pernikahan? Ungkapan rasa turut berbahagia tentulah reaksi yang sewajarnya atau paling tidak, secara normatif, seharusnya. Mungkin juga bersedih bila undangan tersebut dari orang di masa lalu yang begitu melekat di hati sehingga sakit untuk melepaskannya. Bisa jadi tersentil karena undangan itu mengingatkan pada status lajang Anda (seperti juga saya) yang seakan tanpa akhir. Atau mungkin saja melotot. Entah karena memang bawaan lahir. Entah karena kebetulan tersedak biji salak yang lupa dimuntahkan keluar. Entah karena keterkejutan atau ketidakpercayaan (bisa pada pelaku pernikahan atau pernikahan itu sendiri).

Sayangnya reaksi yang paling sering saya temui di lingkungan sekitar, undangan yang semestinya merupakan suatu kabar bahagia justru ditanggapi dengan rasa khawatir dan tertekan oleh sang penerima. Mulai dari menyesali kedatangan lembar undangan, meratapi nasib, sedikit rutukan dan keluhan sampai pada fase pandangan mata kosong dan jiwa tertekan memikirkan bagaimana cara memperolehi uang ekstra dalam upaya memenuhi ekspektasi (lebih sering mengarah menjadi suatu tuntutan) sosial berupa pemberian bingkisan atau uang. Suatu tindakan berdasarkan ketulusan dan rasa kebersamaan sosial berkembang menjadi kebiasaan yang mengikat dan berakhir menjadi kewajiban.

Anda tentunya sudah cukup terbiasa dengan catatan tambahan yang lumrah menyertai lembar undangan berupa pemberitahuan ‘Tanpa mengurangi rasa hormat, tidak menerima bingkisan dan rangkaian bunga’ atau kalimat sejenis itu. Pengalaman pribadi mengajarkan betapa bingkisan atau karangan bunga memang cenderung lebih merepotkan daripada pemberian uang, baik bagi pemberi maupun penerima. Namun sulit menutupi keterkejutan saya ketika suatu hari membaca sebuah undangan (untungnya hanya membaca karena bukan ditujukan pada saya) yang di dalamnya tertera pesan pemberitahuan dalam rupa 3 buah gambar. 2 diantaranya berupa gambar kado dan bunga dalam lingkaran yang masing-masing diberi tanda silang dan gambar berikutnya berupa amplop dalam lingkaran. Sudah bisa menebak artinya tanpa perlu kehadiran ahli sandi kan? Sebenarnya maksud yang hendak disampaikan tidak jauh berbeda dari versi pesan tulisan, hanya saja dalam wujud yang lebih praktis, yaitu simbol. Sayangnya justru berkesan kasar buat saya yang cenderung sensitif apabila berurusan dengan kata atau tanda karena lebih terbaca sebagai suatu perintah “Beri saya uang! Pemberian dalam bentuk lain dilarang!”

Tolong jangan artikan sikap dan penilaian saya sebagai manifestasi pribadi yang dingin, kikir, penuh perhitungan ataupun keengganan untuk berbagi dengan sesama. Sungguh suatu hal yang membahagiakan bila bisa memberi, membantu , berperan atau melakukan sesuatu untuk orang lain. Sehingga menjadi suatu kekecewaan ketika sistem yang berkembang dalam masyarakat saat ini justru mengabaikan substansi perayaan pernikahan, yaitu mengumumkan pernikahan serta berbagi kebahagiaan dan mengaburkan makna solidaritas atau kebersamaaan sosial sebenarnya, yaitu memberi tanpa pamrih. Saat luapan afeksi dan ketulusan yang terkandung dalam suatu pemberian hanya dipandang berdasar wujud atau kauntitas fisiknya untuk kemudian dibukukan, diinventarisasi atau bahkan mudah-mudahan tidak dinilai atau dijadikan tolak ukur pemberian (balasan). Begitu pula saat suatu pemberian dilekati harapan memperoleh balasan yang sepadan.

Saya percaya masih banyak pribadi-pribadi mulia yang tidak terjebak gan dalam pola hipokrit seperti itu. Tapi sulit disangkal bahwa realita yang berkembang dalam masyarakat adalah tindakan manasuka tersebut menjadi suatu keharusan yang disertai sanksi sosial. Di daerah tertentu dapat ditemui fakta bahwa pemberian (atau lumrah disebut sumbangan) di acara pesta semacam ini dicatat dengan detil mulai nama pemberi, aitem dan jumlahnya sehingga saat sang pemberi tersebut suatu saat mengadakan hajat maka si penerima harus memberikan sesuai apa yang dulu telah diterimanya dari orang yang bersangkutan. Ironisnya lagi, sepertinya sudah terbentuk aturan baku tak tertulis dalam masyarakat bahwa besarnya pemberian mesti berkorelasi positif dengan strata status, kedudukan atau kemampuan (baca: kaya) sang penyelenggara pesta. Artinya, semakin tinggi kedudukan atau kekayaan maka semakin tinggi pula besaran pemberian. Atau ketika pemberian untuk pesta pernikahan (yang diselenggarakan atas dasar pilihan sadar melalui pemikiran matang sebagai ekspresi kebahagiaan) seringkali lebih diprioritaskan, baik kuantitas maupun urgensinya daripada pemberian untuk orang yang benar-benar membutuhkan (entah bencana, sakit atau meninggal) yang secara logika merupakan peristiwa tidak direncana, tidak diharapkan dan jelas lebih membutuhkan bantuan. Seorang kenalan malah pernah dengan terang-terang berkata (yang sebenarnya dimaksudkan untuk menasihati saya yang masih belum menikah juga), “Jangan khawatir tentang biaya nikah, nanti balik modal dari sumbangannya kok”. Kenyataan yang benar-benar menyedihkan melihat perayaan pernikahan dipandang dan diperlakukan tidak lebih seperti bisnis warung makan selama beberapa jam.

Jangan takut untuk mengundang saya atau menerima undangan saya. Tenang, saya bukan manusia berhati batu. Ini bukan upaya pemboikotan tindakan berbagi, memberi atau menerima dengan orang lain. Bukankah hal tersebut instrumen interaksi yang indah dalam kehidupan manusia? Saya hanya berharap ini bisa jadi bahan renungan yang akan membuka hati dan meluweskan kerangka pemikiran kita untuk bisa bersikap lebih bijak.

Jika di masa yang akan datang Anda berkenan untuk mengundang saya, mohon untuk memaklumi bahwa apapun yang saya berikan untuk Anda adalah buah afeksi, kesungguhan dan perhatian dari lubuk hati yang paling dalam, tanpa mengharap apa-apa (Kalaupun Anda tidak mengundang saya, tidak akan saya jadikan prasangka atau radang dalam hati. Doa dan harapan yang tulus untuk kebahagiaan Anda).

Dan, jika di masa yang akan datang Anda berkenan memenuhi undangan saya, mohon untuk tidak menjadikan hal tersebut sebagai beban karena, dengan segala hormat dan kerendahan hati, yang saya harapkan hanyalah sekedar kesediaan Anda untuk hadir dan berbagi momen penting dalam hidup saya, tanpa mengharap apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar